MASALAH
pendidikan dewasa ini semakin menjadi perhatian. Tidak mengherankan
mengingat pendidikan adalah milik dan tanggung jawab masyarakat.
Kedudukan pendidikan sangat strategis menuju arah tercapainya
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Berbagai upaya dihimpun dan
dikerahkan untuk mencapai peningkatan kualitas pendidikan, terutama
pendidikan formal di sekolah-sekolah. Peningkatan sumber daya manusia
artinya usaha untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertaqwa,
berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, cerdas, tangguh,
kreatif, terampil dan beretos kerja sebagaimana diamanatkan GBHN ( GBHN 1998 ).
Jika tujuan tersebut tercapai sepenuhnya patut mendapat acungan
jempol. Tetapi tidak semudah apa yang dikatakan untuk mencapai tujuan
tersebut. Hal ini tidak dapat dicapai dengan membaca sim salabim ala
kedabra akan tetapi harus diupayakan sedemikian rupa menyangkut
kepedulian masyarakat dan perhatian penuh pemerintah, tenaga
kependidikan serta kesanggupan para siswa itu sendiri.
Pertanyaan pun muncul, mengapa usaha peningkatan sumber daya manusia
belum dapat segera terwujud ? Jawabnya cukup kompleks. Artinya banyak
hal yang mempengaruhi sekaligus menjadi kendala bagi tercapainya
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kendala yang dimaksud
adalah adanya kondisi yang sangat ironis bahkan bertolak belakang dalam
dunia pendidikan kita. Kondisi yang bertolak belakang tersebut artinya
ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan. Harapan dari produk
pendidikan sangatlah mutlak dan ideal akan tetapi kenyataan proses
penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta daya dukung masyarakat belum
dapat dikatakan seimbang.
Pertama,
sistem pendidikan. Peningkatan kualitas SDM seperti
yang termaktup dalam GBHN sangat ideal yang masih sulit dicapai dengan
sistem pendidikan kita sekarang ini. Dapat kita lihat sejauh mana
pendidikan di sekolah (SMP misalnya) berupaya membentuk siswa-siswanya
menyandang sifat yang memuaskan seperti disebutkan dalam tujuan
pendidikan nasional di GBHN itu?
Kalau kita cermati sistem pendidikan kita terbentur dalam
ketidaksinkronan yang ada. Idealisme tujuan pendidikan memang tinggi
sementara sistem pendidikan belum mendukung terbentuknya manusia
berkualitas karena banyak dijumpai fenomena di lapangan. Contohnya
fenomena penyeragaman menjadi ciri khas sistem pendidikan kita. Siswa
selalu dihadapkan berbagai keseragaman baik duduknya, pakaiannya, cara
mengerjakan soal, cara berpikir, bertanya, buku maupun kurikulumnya. Di
satu sisi memudahkan pengaturan siswa dan mengekang emosionalnya akan
tetapi di lain pihak memenggal kebebasan siswa termasuk kognitifnya.
Betapa tidak ! Siswa mau muncul, dikekang kurikulum. Mau lari dikekang
penjadwalan dan mau tidur dikekang etika. Bukankah hal ini berarti
mengebiri kreativitas siswa? Tidaklah sekolah malah menjadi pabrik
pencetak manusia penurut ? Bukan lagi kreativitas yang diperoleh tetapi
kebebasan berpikir terbelenggu dengan model-model hafalan pada kegiatan
belajar mengajar dan evaluasinya.
Fenomena lain adanya penjejalan bahan pelajaran pada siswa. Untuk
mengantisipasi hal itu siswa masih harus mengikuti bimbingan tes atau
les privat untuk mendukung pemahaman terhadap mata pelajaran yang
dipelajarinya.
Kedua,
ketidaksesuaian latar belakang pendidikan dengan
lapangan pekerjaan. Fakta memaksa harus puas lulusan SMA bekerja di
pabrik gilingan batu, lulusan sarjana filsafat bekerja sebagai satpam
di hotel-hotel. Kita dapat angkat bicara seolah-olah tidak ada fungsinya
hafalan-hafalan mata pelajaran dengan pekerjaan di tempat kerjanya. Di
lingkungan PNS pun banyak ditemui fenomena yang sama. Seorang insinyur
bekerja di Depdiknas bagian anggaran.
Ketiga,
depopulasi guru idola. Pada mulanya, profesi guru
diidentikkan dengan seorang guru di dalam dunia pewayangan yang segenap
sifatnya menunjukkan kearifan , kesabaran, keteladanan, dan serba tahu.
Pendek kata guru adalah sosok manusia yang bisa di gugu dan ditiru dalam
segala hal. Namun bagaimana kenyataannya? Masih ada satu, dua atau
lebih guru belum bisa memeuhi panggilan seorang guru dengan serentetan
keterbatasan dan kekurangdisiplinannya. Misalnya masuk kelas mesti
terlambat, keluar kelas mendahului bel dan sering menunda jawaban
ketika ada siswa bertanya. Banyak lagi hal yang menurunkan citra seorang
guru. Bukankah erat sekali hubungannya antara sikap guru, mata
pelajaran , dan sikap tanggapan dari siswa?
Keempat,
guru dan gajinya. Tidak masalah guru diberi gelar
pahlawan tanpa tanda jasa asal jangan diselewengkan menjadi pahlawan
tanpa jasa. Tugas guru sangatlah berat karena harus menyelamatkan
generasi masa depan dari kebutaan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mewarnai keadaan bangsa yang akan datang. Namun adanya ketidaksesuaian
terpaksa harus diungkapkan. Gaji guru tidak membuat silau si tukang
batu, pelayan toko tersenyum sinis memegang kumis melihat guru
menunduk menangis. Padahal tugas dan tanggung jawab seorang guru tidak
sama dengan seorang tukang batu .
Guru membutuhkan buku bacaan seperti koran dan televisi sebagai media
informasi, sementara anak dan istri berdiri di rumah menanti datangnya
gaji. Haruskah seorang guru nyambi pekerjaan lain seperti ngojek untuk
menopang ekonomi ? Padahal kewibawaan guru harus dimiliki dan sangat
erat hubungannya dengan pemilikan materi. Jika demikian adanya nyaris
eksistensi guru sebagai ujung tombak pendidikan menjadi tumpul dan bukan
tidak mungkin jika nantinya terbentuk generasi yang tumpul juga.
Bukankah hal ini tidak kita inginkan ?
Kelima,
orang tua siswa dan masyarakat. Orang tua siswa
selalu menghendaki anaknya menjadi orang yang berguna di kelak kemudian
hari. Syarat pokoknya diawali dengan melek huruf, melek angka, melek
alam sekitar dan melek kawruh. Untuk itu anaknya disekolahkan secara
formal agar menjadi anak yang berkualitas. Akan tetapi sering harapan
itu tidak seimbang.
Pasalnya orang tua sibuk dengan rutinitas tugas kesehariannya, pergi
pagi pulang malam tanpa ada waktu senggang. Kapankah orang tua harus
mengontrol, mengawasi dan mendidik putra putrinya? Ini dialami orang tua
sibuk berstatus tinggi di kota.
Masyarakat selalu menyorot guru sebagai orang yang paling bertanggung
jawab dalam dunia pendidikan. Guru diharapkan menyandang sifat-sifat
yang semuanya merupakan ciri manusia yang handal kualitasnya. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa guru yang berkualitas diharapkan
dapat membentuk siswa yang juga berkualitas. Tetapi harus kita ingat
guru berasal dari LPTK semacam IKIP, SPG, SGO dan PGSD. Kalau mau
mendata siapa orang – orang yang masuk ke LPTK tersebut ? Pada umumnya
LPTK adalah pilihan terakhir, itupun mukanya cemberut merasa dirinya
tersisih dan merupakan sisa sortiran universitas.
Masyarakat tampaknya sudah mempunyai satu pandang melarang anaknya
masuk IKIP lebih-lebih anak yang prestasinya baik. Bukankah semua ini
merupakan suatu ketidaksinkronan / kepincangan ? Di satu sisi
masyarakat mengharapkan kualitas seorang guru akan tetapi di sisi lain
tidak mendukung pembentukan bibit guru yang berkualitas. Karena biasanya
guru yang berkualitas berasal dari siswa yang juga berprestasi.
Walaupun siswa berprestasi bukan jaminan menjadi sosok yang berkualitas
mengingat kriteria kualitas tidak hanya diambil dari prestasi nilai
kognitifnya saja.
Keenam,
siswa selaku subyek pendidikan. Kurangnya minat baca
bagi siswa mmengawali rendahnya kualitas siswa itu sendiri. Sementara
mereka senang membicarakan tokoh-tokoh sukses, orang-orang tenar, kaya,
cendekiawan, insinyur dan lain sebagainya. Disisi lain mereka masih
enggan untuk belajar, membaca dan tak mau melirik perpustakaan. Budaya
ngobrol, nonton TV, nongkrong dan kumpul-kumpul agaknya mengangkangi
proporsi waktu hari-hari yang dilewatinya
Ketujuh, rendahnya anggaran sarana dan prasarana pendidikan.
Dalam proses pembelajaran, pelajaran IPA perlu alat dan bahan untuk
praktikum, pelajaran olah raga perlu alat olahraga, seni tari perlu
radio tip dan kasetnya, perpustakaan butuh kehadiran buku dan
petugasnya. Sudahkah semua itu memadai ? Sudah tepatkah penggunaan
anggaran di sekolah masing-masing ? Sudahkah direalisasikan anggaran
untuk bidang pendidikan sebanyak 20 % dari APBN ?
Kedelapan,
bentuk soal tes dan evaluasi dalam persekolahan
kita. Soal ulangan harian, ulangan mid semester, ulangan umum dan soal
ujian nasional persekolahan kita selalu menerapkan soal pilihan ganda.
Anak tidak pernah bermain bahasa dengan bahasanya sendiri. Anak hanya
disuguhi pilihan yang cara pengerjaannya pun bisa dilakukan dengan
ngawur. Anak selalu bisa mengerjakan beberapa soal dalam waktu hanya
hitungan menit. Semua soal bisa terselesaikan. Anak hanya berpikir
sepotong-sepotong dan tidak berpikir secara utuh dalam menghadapi setiap
butir soal.
Kesembilan,
sistem penilaian dalam persekolahan kita.
Penskoran dari soal pilihan ganda yang tidak menerapkan sistem denda
jelas-jelas merupakan tindakan ceroboh dalam sistem evaluasi
pendidikan. Jawaban yang salah merupakan cermin pengerjaan ngawur.
Mestinya, jawaban yang salah untuk mendendanya dengan harapan anak nekat
menjawab tanpa didasari pemikiran yang benar. Anak akan takut menjawab
ngawur. Contoh, 50 soal pilihan ganda dengan skor 100 dijawab 30 benar
semua maka nilainya 60. Akan tetapi apabila dijawab semua dan benar 30
maka nilainya 60 – 40 = 20 bukan 60.
Kesepuluh,
maraknya sistem penerimaan kerja melalui jalur
KKN ( Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ). Anak tidak termotivasi belajar
yang keras karena ada jalan pintas mencari pekerjaan dengan model
kolusi. Apabila sistem ini terus membudaya dalam masyarakat maka akan
menghancurkan tumbuhnya jiwa kemandirian dan mematikan kreativitas pada
generasi masa depan.
Sekarang lengkap sudah disebutkan, hal-hal yang saling antagonis
antara harapan dan kenyataan, antara idealisme dan pencapaian. Bagaimana
mengatasi sederetan fenomena dan kepincangan yang masih marak di
lapangan tersebut. Tidak semudah yang kita inginkan mengatasi fenomena
ynag kompleks itu. Perlu perencanaan yang matang, upaya yang ekstra
keras dan pengawasan yang baik dalam pelaksanaan proses belajar mengajar
demi keberhasilan terbentuknya sumber daya mnanusia yang berkualitas.
Dengan menengok kepincangan yang ada agaknya langkah pertama yang
perlu diambil ialah menempatkan anggaran pendidikan pada posisi optimal.
Peningkatan anggaran ini di gunakan untuk peningkatan kesejahteraan
guru maupun peningktan kualitas sumber daya manusia. Seperti halnya
dosen, peningkatan kualitasnya selalu dilakukan yang dibiayai oleh
negara atau perguruan tinggi yang bersangkutan. Ironis kiranya jika guru
selalu disudutkan mengenai belum bisa dihasilkannya SDM yang
berkualitas dari sistem pendidikan kita ini sedangkan kualitas guru
tidak pernah diupayakan.
Langkah kedua, memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan
kualitas SDM. Hendaknya masyarakat menyadari bahwa tanggung jawab
pendidikan ada di tangan pemerintah, tenaga kependidikan dan masyarakat.
Untuk itu masyarakat jangan membebani tenaga kependidikan, misalnya
orang tua tidak boleh emosi jika mendengar anaknya dipanggil guru BP,
demikian juga melihat nilai rapot anaknya jelek.
Langkah ketiga menumbuhkembangkan siswa untuk lebih meningkatkan
semangat belajar, membaca, terampil, kreatif dan kritis terhadap
lingkungan.
Sumber : https://enewsletterdisdik.wordpress.com/2010/12/27/sepuluh-fenomena-pendidikan-kita/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan isi kolom Komentar...